Skip to main content
Bagi yang belum tahu, ini penjelasannya: pro kontra memperlihatkan berapa yang positif covid19 dan berapa yang meninggal

Arsa Danialsa

sumber gambar: UB Embassy, Jakarta


Tidak sedikit yang menganggap bahwa jumlah yang positif dan meninggal sebenarnya tidak perlu diperlihatkan. Kita seharusnya menyebarkan informasi kehidupan dan harapan bagi banyak orang yaitu dengan memperlihatkan berapa banyak yang berhasil sembuh atau hidup dari covid19 ini. Alasannya, supaya orang-orang termotivasi untuk berjuang melawan penyakit ini--agar orang-orang tetap bahagia pun agar pikiran orang-orang tidak dikotori dengan adanya informasi kematian.

Saya pikir itu bukan pendapat yang salah. Tetapi tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Masing-masing orang punya program yang berbeda atau punya jenis motivasi yang berbeda. Dalam NLP ini dibahas mungkin juga/bisa jadi ilmu ini juga dibahas di dunia psikologi bahwa manusia memiliki jenis motivasi mendekati dan menjauhi. (Referensi ini saya pelajari dari buku Neuro Linguistic Programming For Change By Danang Baskoro, M.PSI dan juga referensi-referensi lainnya).

Tidak semua orang termotivasi hanya dengan melihat jumlah manusia yang sembuh. Bisa jadi orang yang memiliki jenis motivasi ini (motivasi mendekati) mereka benar termotivasi dan cenderung akan mendekati kehidupan yang terbebas dari penyakit, kehidupan yang sehat dan bahagia. Tetapi tidak dengan mereka yang jenis motivasinya terbalik. Mereka yang lebih termotivasi dengan adanya informasi penyakit. Berapa yang positif, berapa yang meninggal. Mereka yang jenis motivasinya (motivasi menjauhi) cenderung akan fokus pada informasi kematian dan mereka memiliki pemikiran untuk menjauhi itu sehingga mereka akan melakukan hal-hal yang tidak berisiko untuk kesehatan. 

Perbedaan sederhananya: orang yang program motivasinya (mendekati) hanya akan fokus pada informasi kehidupan; karena mereka akan mendekati itu atau termotivasi untuk menuju hidup yang sehat dan bahagia. Sementara orang yang program motivasinya (menjauhi) hanya akan fokus pada informasi penderitaan atau kematian; karena mereka pasti akan termotivasi untuk menjauhi itu atau lebih menghindari risiko tersebut. Sederhananya lagi, bagi yang (program mendekati) lebih cenderung pada apresiasi/penghargaan sementara yang (programnya menjauhi) lebih cenderung pada sanksi atau ancaman.

Sebenarnya tujuannya sama. Sama-sama ingin terbebas dari penyakit atau covid19. Tetapi kita bicara sudut pandang setiap orang dalam menyikapi stimulus/informasi yang masuk ke pikiran setiap orang  itu pasti berbeda. Hal ini sejalan dengan pendapat salah satu tokoh psikolog Indonesia Danang Baskoro, M.PSI (2018:134) yang benyatakan bahwa "setiap orang tidaklah sama dalam merespon suatu stimulus yang sama".

Kesimpulannya, saya pribadi mendukung dan setuju jika informasi mengenai covid19 harus disampaikan secara terbuka dengan maksud seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Atas keterbatasan pendapat di atas, semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

Esensi Merunduk Sebuah fakta baru kembali menggetarkan nalar para pemerhati pengetahuan khususnya di bidang literasi. Hal mana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank dalam dokumentasi publikasi Indonesia Economic Quarterly , Juni 2018 menyatakan bahwa 55 persen masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, tidak terkecuali para mahasiswa. Fenomena yang banyak kita temukan di lingkungan universitas bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kebiasaan copy paste, sehingga kebiasaan plagiarisme tidak dapat dihindarkan. Berkenaan dengan fakta di atas, sebuah kebiasaan unik yang sudah menjadi kultur di lingkungan mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dan mungkin juga di kampus-kampus besar lainnya, yaitu perintah "MERUNDUK" oleh senior kepada mahasiswa baru. Sebuah perintah yang hukumnya fardu ain untuk dilaksanakan. Beberapa senior mengklaim bahwa itu sudah menjadi kebiasaan di masa orientasi mahasiswa, ada juga yang berpendapat bahwa perintah
  Love Language ala NLP Arsa Danialsa Istilah love language pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Yap, sebuah konsep yang dikenalkan oleh Dr. Gary Chapman pada tahun 90an ini, meskipun telah berlalu lebih dari 20 tahun, faktanya konsep ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Belum lagi saat ini istilah love language sedang trend di kalangan anak muda.  Words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, and physical touch.  Lima bahasa cinta yang mulai bertebaran di banyak media sosial pun ruang-ruang obrolan anak muda. Lalu apa menariknya konsep ini? Yuk kita bahas singkat: Pertama , orang yang love language -nya word of affirmation adalah mereka yang senang dengan apresiasi dalam bentuk kata-kata seperti pujian atau bahkan hal receh seperti gombalan. Kedua , mereka dengan  love language quality time , adalah orang-orang yang berorientasi pada kualitas waktu yang dihabiskan bersama. Saat sedang bersama, mereka paling anti dengan distraksi apa pun itu t
S(U)AMPAH MAHASISWA "Mereka tidak punya kesadaran tapi seolah-olah sadar," Samsi Pomalingo. Sebuah tanda ketidakharmonisan antara kata-kata dan perilaku. Di lain situasi mereka yang sering tampil di permukaan podium atau bahkan bermain kata di atas media, mengaku sebagai orang yang beradab dan bermoral, tetapi fenomena menjawab terbalik, sebuah kekeliruan berpikir kerap kali menjadi kelalaian orang-orang yang berkepala dingin. Bagaimana tidak, mahasiswa yang begitu identik dengan gelar agent of change seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil yang memiliki dampak besar di masa yang akan datang. Gambar di atas tulisan ini, menjadi salah satu contoh sederhana yang bisa saya tunjukkan dan tidak bermaksud menyinggung tapi marilah kita sama-sama tersinggung. Bicara perihal adab dan moral sudah semestinya kita luruskan. Bahwa memerhatikan hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil justru adalah kekeliruan dalam berpikir. Mahasiswa yang bermoral tentu mengerti