Skip to main content


Esensi Merunduk

Sebuah fakta baru kembali menggetarkan nalar para pemerhati pengetahuan khususnya di bidang literasi. Hal mana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank dalam dokumentasi publikasi Indonesia Economic Quarterly, Juni 2018 menyatakan bahwa 55 persen masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, tidak terkecuali para mahasiswa. Fenomena yang banyak kita temukan di lingkungan universitas bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kebiasaan copy paste, sehingga kebiasaan plagiarisme tidak dapat dihindarkan.
Berkenaan dengan fakta di atas, sebuah kebiasaan unik yang sudah menjadi kultur di lingkungan mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dan mungkin juga di kampus-kampus besar lainnya, yaitu perintah "MERUNDUK" oleh senior kepada mahasiswa baru. Sebuah perintah yang hukumnya fardu ain untuk dilaksanakan. Beberapa senior mengklaim bahwa itu sudah menjadi kebiasaan di masa orientasi mahasiswa, ada juga yang berpendapat bahwa perintah "MERUNDUK" sengaja harus dilakukan agar para mahasiswa baru tidak melihat wajah para senior saat sedang marah dan membentak-bentak, lebih parahnya ada yang berpendapat agar mahasiswa baru harus menghormati para senior dan harus patuh mengikuti perintah mereka. 
Fenomena ini merupakan realitas kegilaan yang dianut bahkan cenderung diabadikan oleh para mahasiswa yang bergelut sebagai aktivis kampus. Di Universitas Negeri Gorontalo itu sendiri saya hampir tidak menemukan mahasiswa langka yang pemikirannya logis dan berkualitas perihal esensi dari perintah "MERUNDUK". Saya hanya menjumpai satu kawan yang memberikan pandangan yang agaknya sedikit gila bahwa sebetulnya jika kita sadar, "MERUNDUK" bisa diartikan sebagai bentuk latihan "MEMBACA". Merunduk berarti ada sesuatu yang sedang dibacanya. Bukan perihal "MENGHORMATI" senior, "TAKUT" senior, mengabadikan "KULTUR", atau bahkan "MERUNDUK" sekadar menarik ulur beranda sosial media. Jika saja para senior sedikit mengalihkan nalarnya untuk tidak mengabadikan kultur "MERUNDUK"  melainkan menciptakan kultur yang lebih rasional dan lebih berpihak pada pengetahuan pun etika dan moral, saya yakin lingkungan cendekiawan yang di dalamnya adalah orang-orang yang berintelek dan beretika benar-benar layak dan pantas disandangkan sebagai "MAHASISWA" sejati.

Arsa Danialsa_


Comments

Popular posts from this blog

  Love Language ala NLP Arsa Danialsa Istilah love language pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Yap, sebuah konsep yang dikenalkan oleh Dr. Gary Chapman pada tahun 90an ini, meskipun telah berlalu lebih dari 20 tahun, faktanya konsep ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Belum lagi saat ini istilah love language sedang trend di kalangan anak muda.  Words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, and physical touch.  Lima bahasa cinta yang mulai bertebaran di banyak media sosial pun ruang-ruang obrolan anak muda. Lalu apa menariknya konsep ini? Yuk kita bahas singkat: Pertama , orang yang love language -nya word of affirmation adalah mereka yang senang dengan apresiasi dalam bentuk kata-kata seperti pujian atau bahkan hal receh seperti gombalan. Kedua , mereka dengan  love language quality time , adalah orang-orang yang berorientasi pada kualitas waktu yang dihabiskan bersama. Saat sedang bersama, mereka paling anti dengan distraksi apa pun itu t
S(U)AMPAH MAHASISWA "Mereka tidak punya kesadaran tapi seolah-olah sadar," Samsi Pomalingo. Sebuah tanda ketidakharmonisan antara kata-kata dan perilaku. Di lain situasi mereka yang sering tampil di permukaan podium atau bahkan bermain kata di atas media, mengaku sebagai orang yang beradab dan bermoral, tetapi fenomena menjawab terbalik, sebuah kekeliruan berpikir kerap kali menjadi kelalaian orang-orang yang berkepala dingin. Bagaimana tidak, mahasiswa yang begitu identik dengan gelar agent of change seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil yang memiliki dampak besar di masa yang akan datang. Gambar di atas tulisan ini, menjadi salah satu contoh sederhana yang bisa saya tunjukkan dan tidak bermaksud menyinggung tapi marilah kita sama-sama tersinggung. Bicara perihal adab dan moral sudah semestinya kita luruskan. Bahwa memerhatikan hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil justru adalah kekeliruan dalam berpikir. Mahasiswa yang bermoral tentu mengerti