Skip to main content

Memaknai Hans Bague Jassin, Gorontalo dan Indonesia
Oleh: Arsa Danialsa
(Aktivis Literasi Gorontalo dan Kader PMII)

Tepat 31 Juli 2019 nanti kita akan memperingati 102 tahun H.B. Jassin. Tidak banyak masyarakat Gorontalo yang tahu perihal H.B. Jassin. Hanya segelintir orang yang begitu sadar dan memperhatikan, sebut saja para akademisi dan peneliti kampus/daerah, bahkan hanya orang-orang tertentu yang benar-benar serius mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan H.B. Jassin, tidak banyak hanya satu dua orang bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Kenyataannya H.B. Jassin di Gorontalo diingat hanya sebatas nama jalan belaka. Padahal di Indonesia H.B. Jassin begitu dihargai dan dihormati karena karya-karya serta keseriusannya dalam mengurusi sastra di Indonesia.
Oleh karena kiprahnya di bidang kritik dan dokumentasi sastra yang begitu serius, H.B. Jassin mendapat predikat atau julukan “Paus Sastra” dari seorang kawan yaitu Gajus Siagian sekitar tahun 1952. Julukan “Paus Sastra” bukan satu-satunya julukan yang diberikan pada H.B. Jassin. Beliau juga sempat dijuluki sebagai “Wali Penjaga Sastra Indonesia” oleh ahli sastra Indonesia yaitu Prof. A.A. Teeuw. Bahkan ia pernah dijuluki “Si Tukang Kebun Sastra Indonesia” yang bertugas menyirami dan merawat tunas-tunas pertumbuhan sastra di Indonesia. Sebetulnya masih banyak julukan yang diterima H.B. Jassin dari kawan-kawannya, sebut saja penjaga gawang sastra Indonesia, juru kunci sastra Indonesia, dan julukan lainnya yang diperoleh H.B. Jassin.
Selain memperoleh julukan dari beberapa kawannya, H.B. Jassin juga pernah meraih beberapa penghargaan baik lokal, nasional, bahkan internasional, diantaranya Merinus Nijhoff (26 Januari 1973), Ramon Magsaysay (1987), Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Nararya (1994), Satyalencana Kebudayaan (20 Mei 1969), dan penghargaan lokal Gorontalo “Ti Molotinepa Wulito” (30 Oktober 1993).
Kursi Imajinasi
Dalam perjalanannya menggeluti dunia sastra, sebetulnya banyak tantangan yang dihadapi H.B. Jassin, salah satu persoalan yang begitu fenomenal pada saat itu adalah ketika H.B. Jassin harus berurusan dengan hukum karena telah mati-matian membela seorang penulis yang melahirkan cerpen paling kontradiktif pada waktu itu dengan judul “Langit Makin Mendung” (1968) karya Ki Panjikusmin. Oleh karena tindakan H.B Jassin tersebut ia harus memperoleh ganjaran yang amat berat yaitu hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Peristiwa tersebut diabadikan dalam film dokumenter H.B. Jassin duduk di kursi imajinasi yang semua tokohnya diperankan oleh dirinya sendiri.
Ki Panjikusmin sendiri sampai detik ini masih menjadi misteri karena keberadaannya begitu dirahasiakan oleh H.B. Jassin sebagai bentuk loyalitasnya untuk membela para penulis yang mengangkat imajinasi dalam dunia kesusastraan. Dalam suatu surat kabar Indonesia terbitan 11 Juni 1997, telah membahas tuntas seluk-beluk bagaimana ketika H.B. Jassin mati-matian membela cerpen karya Ki Panjikusmin tersebut dengan alasan bahwa itu adalah hak imajinasi seorang penulis.
Faktanya, tidak sedikit masyarakat yang marah dan tidak terima dengan cerpen yang dipublikasikan nya karena dianggap telah menghina Tuhan dan agama. Bahkan Buya Hamka yang juga merupakan seorang ulama sekaligus sebagai seorang penyair pun ikut menjadi saksi ahli yang juga memberatkan H.B. Jassin. Meskipun demikian, H.B. Jassin berpendapat bahwa imajinasi tidak dapat disamakan dengan dunia nyata apalagi agama. Hal itulah yang menyebabkan H.B. Jassin harus rela menerima hukuman selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
Kampung halaman (Gorontalo) dan Keindonesiaan H.B. Jassin
Apapun bentuk penghakiman yang dialami H.B. Jassin tidak ada alasan baginya untuk tidak menghidupi sastra Indonesia. Hal itulah yang menjadikan namanya begitu tersohor bukan hanya di panggung lokal, melainkan panggung Indonesia bahkan dunia.  Sayangnya jika kita bicara di level daerah khususnya Gorontalo, tidak banyak yang tahu bahwa antara H.B. Jassin dan Gorontalo sebetulnya memiliki hubungan yang teramat erat, hal mana bahwa 31 Juli 1917 merupakan momentum penting dan juga menjadi catatan sejarah yang teramat berharga bagi Gorontalo bahwa telah lahir seorang tokoh besar bernama Hans Bague Jassin atau yang lebih dikenal dengan nama H.B. Jassin.
Meskipun kiprahnya untuk Gorontalo tidak teramat banyak, bagi masyarakat Gorontalo yang sadar, kebesaran nama Jassin yang dimilikinya telah membawa sebuah branding tersendiri bagi Gorontalo bahwa daerah yang dijuluki sebagai “Serambi Madinah” ini pernah melahirkan sosok/tokoh luar biasa yang mempelopori sastra tidak hanya di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Sayangnya, apresiasi daerah terhadap kiprah H.B. Jassin dirasa masih belum cukup. Mengingat di Gorontalo H.B. Jassin hanya diabadikan sebatas nama jalan tetapi hampir tidak pernah disinggung di bangku kelas atau sekolah. Parahnya lagi perpustakaan yang tersebar di sekolah-sekolah, Universitas bahkan perpustakaan pemerintah di Gorontalo nyaris memiliki koleksi buku-buku karya H.B. Jassin yang jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari. Inilah yang seharusnya diperhatikan oleh semua pihak. Tidak hanya pemerintah, pun masyarakat, para peneliti, kaum akademisi, mahasiswa, bahkan siswa juga harus ikut serta untuk menggalangkan H.B. Jassin di bumi Gorontalo ini.

Comments

Popular posts from this blog

Esensi Merunduk Sebuah fakta baru kembali menggetarkan nalar para pemerhati pengetahuan khususnya di bidang literasi. Hal mana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank dalam dokumentasi publikasi Indonesia Economic Quarterly , Juni 2018 menyatakan bahwa 55 persen masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, tidak terkecuali para mahasiswa. Fenomena yang banyak kita temukan di lingkungan universitas bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kebiasaan copy paste, sehingga kebiasaan plagiarisme tidak dapat dihindarkan. Berkenaan dengan fakta di atas, sebuah kebiasaan unik yang sudah menjadi kultur di lingkungan mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dan mungkin juga di kampus-kampus besar lainnya, yaitu perintah "MERUNDUK" oleh senior kepada mahasiswa baru. Sebuah perintah yang hukumnya fardu ain untuk dilaksanakan. Beberapa senior mengklaim bahwa itu sudah menjadi kebiasaan di masa orientasi mahasiswa, ada juga yang berpendapat bahwa perintah
  Love Language ala NLP Arsa Danialsa Istilah love language pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Yap, sebuah konsep yang dikenalkan oleh Dr. Gary Chapman pada tahun 90an ini, meskipun telah berlalu lebih dari 20 tahun, faktanya konsep ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Belum lagi saat ini istilah love language sedang trend di kalangan anak muda.  Words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, and physical touch.  Lima bahasa cinta yang mulai bertebaran di banyak media sosial pun ruang-ruang obrolan anak muda. Lalu apa menariknya konsep ini? Yuk kita bahas singkat: Pertama , orang yang love language -nya word of affirmation adalah mereka yang senang dengan apresiasi dalam bentuk kata-kata seperti pujian atau bahkan hal receh seperti gombalan. Kedua , mereka dengan  love language quality time , adalah orang-orang yang berorientasi pada kualitas waktu yang dihabiskan bersama. Saat sedang bersama, mereka paling anti dengan distraksi apa pun itu t
S(U)AMPAH MAHASISWA "Mereka tidak punya kesadaran tapi seolah-olah sadar," Samsi Pomalingo. Sebuah tanda ketidakharmonisan antara kata-kata dan perilaku. Di lain situasi mereka yang sering tampil di permukaan podium atau bahkan bermain kata di atas media, mengaku sebagai orang yang beradab dan bermoral, tetapi fenomena menjawab terbalik, sebuah kekeliruan berpikir kerap kali menjadi kelalaian orang-orang yang berkepala dingin. Bagaimana tidak, mahasiswa yang begitu identik dengan gelar agent of change seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil yang memiliki dampak besar di masa yang akan datang. Gambar di atas tulisan ini, menjadi salah satu contoh sederhana yang bisa saya tunjukkan dan tidak bermaksud menyinggung tapi marilah kita sama-sama tersinggung. Bicara perihal adab dan moral sudah semestinya kita luruskan. Bahwa memerhatikan hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil justru adalah kekeliruan dalam berpikir. Mahasiswa yang bermoral tentu mengerti