Skip to main content

 


Love Language ala NLP

Arsa Danialsa


Istilah love language pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Yap, sebuah konsep yang dikenalkan oleh Dr. Gary Chapman pada tahun 90an ini, meskipun telah berlalu lebih dari 20 tahun, faktanya konsep ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Belum lagi saat ini istilah love language sedang trend di kalangan anak muda. 

Words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, and physical touch. 

Lima bahasa cinta yang mulai bertebaran di banyak media sosial pun ruang-ruang obrolan anak muda. Lalu apa menariknya konsep ini? Yuk kita bahas singkat:

Pertama, orang yang love language-nya word of affirmation adalah mereka yang senang dengan apresiasi dalam bentuk kata-kata seperti pujian atau bahkan hal receh seperti gombalan.

Kedua, mereka dengan love language quality time, adalah orang-orang yang berorientasi pada kualitas waktu yang dihabiskan bersama. Saat sedang bersama, mereka paling anti dengan distraksi apa pun itu termasuk gadget. Buat mereka, setiap detik itu sangat berharga dan harus dilewatkan dengan sebaik dan seberkualitas mungkin.

Ketiga, receiving gifts. Orang-orang ini lebih cenderung ke sesuatu yang bersifat material. Meski begitu, materi yang dimaksud tidak melulu soal barang-barang mahal atau branded, karena orang dengan love language receiving gifts  lebih fokus pada kesan dan makna dari pemberian tersebut.

Keempat, acts of service. Mereka memandang bahwa tindakan adalah penghargaan dan bentuk kepedulian seseorang kepadanya. Kata-kata seperti, "Kamu udah makan belom?", "Semangat ya kerjanya", "Hati-hati di jalan ya", dan kata-kata serupa lainnya tidak begitu penting bagi mereka. Karena yang lebih penting bagi orang-orang dengan love language ini adalah, "Kamu lagi di mana? Aku bawain makanan ya?" atau "Malam ini kita makan di luar ya.", "Kamu lagi banyak kerjaan ya? Aku bantu selesaiin.", "Jangan pergi sendiri, aku antar ya.", dll. Hal tersebut karena mereka lebih menganggap tindakanlah yang terpenting daripada kata-kata.

Kelima, physical touch. Sudah jelas bahwa orang-orang ini mengekspresikan kasih sayang lewat sentuhan seperti, pelukan, pegangan tangan, dll. Eits tidak melulu soal seks ya. Kita bicara dalam lingkup/ranah keluarga. Orang tua dan anak atau bahkan suami dan istri.

Just it,
move to NLP.

Di NLP ada satu teori yang disebut dengan nama sistem representasi. Sistem representasi ini sering dipakai untuk mengetahui metode belajar bahkan karakter seseorang hanya dari ekpresi, gaya bicara bahkan bahasa tubuhnya.

Di lingkup biologi, orang mengenal sistem representasi ini dengan sebutan panca indra: visual (penglihatan), auditori (pendengaran), kinestetik (sentuhan), olfactory (pembau), dan gustatory (pengecap). Di NLP kita hanya fokus pada 3 saja, yakni visual, auditori dan kinestetik karena olfatory dan gustatory sudah include ke dalam kinestetik.

Sedikit gambaran, orang visual adalah mereka yang senang dengan tampilan, perfeksionis, visioner tetapi cenderung egois atau individualis. Sementara auditori adalah mereka yang basic karakternya senang dengan hal-hal rinci/detail atau yang sifatnya informatif serta haus akan informasi. Kinestetik, adalah mereka yang cenderung emosional, lebih tertarik dengan vibes yang menenangkan dan menyamankan. Mereka memiliki empati atau kepedulian yang tinggi kepada orang lain.

Lalu apa relevansi pembahasan di atas?

Substansi dari tulisan ini adalah, bagaimana kita melihat love language ini dari sudut pandang NLP.

Pertama, orang visual cenderung ke arah receiving gifts dan word of affirmations. Itu karena orang visual lebih senang dengan tampilan dan penghargaan baik benda maupun kata-kata. Sehingga dua love language ini include ke dalam karakter orang visual.

Kedua, orang auditori cenderung memiliki love language quality time. Hal tersebut karena orang auditori sangat senang berdiskusi atau bertukar informasi. Dengan menghabiskan waktu bersama membahas hal-hal yang umum atau bahkan penting adalah kondisi yang paling disukai dan kesempatan itu bisa mereka dapatkan pada saat sedang merayakan quality time.

Terakhir, kinestetik. Orang-orang kines cenderung memiliki love language acts of service dan phsycal touch. Alasannya jelas, bahwa orang kines lebih berorientasi pada sentuhan baik fisik (phsycal touch) maupun perasaan (acts of service).

So buat kalian yang paham mengenai konsep love language dan yang saat ini lagi belajar atau bahkan sudah menguasai ilmu NLP, gimana? Ada pendapat? Yuk diskusi.

Danialsa_
Media komunikasi melalui instagram @ceodanialsa


Comments

Popular posts from this blog

Esensi Merunduk Sebuah fakta baru kembali menggetarkan nalar para pemerhati pengetahuan khususnya di bidang literasi. Hal mana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank dalam dokumentasi publikasi Indonesia Economic Quarterly , Juni 2018 menyatakan bahwa 55 persen masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, tidak terkecuali para mahasiswa. Fenomena yang banyak kita temukan di lingkungan universitas bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kebiasaan copy paste, sehingga kebiasaan plagiarisme tidak dapat dihindarkan. Berkenaan dengan fakta di atas, sebuah kebiasaan unik yang sudah menjadi kultur di lingkungan mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dan mungkin juga di kampus-kampus besar lainnya, yaitu perintah "MERUNDUK" oleh senior kepada mahasiswa baru. Sebuah perintah yang hukumnya fardu ain untuk dilaksanakan. Beberapa senior mengklaim bahwa itu sudah menjadi kebiasaan di masa orientasi mahasiswa, ada juga yang berpendapat bahwa perintah
S(U)AMPAH MAHASISWA "Mereka tidak punya kesadaran tapi seolah-olah sadar," Samsi Pomalingo. Sebuah tanda ketidakharmonisan antara kata-kata dan perilaku. Di lain situasi mereka yang sering tampil di permukaan podium atau bahkan bermain kata di atas media, mengaku sebagai orang yang beradab dan bermoral, tetapi fenomena menjawab terbalik, sebuah kekeliruan berpikir kerap kali menjadi kelalaian orang-orang yang berkepala dingin. Bagaimana tidak, mahasiswa yang begitu identik dengan gelar agent of change seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil yang memiliki dampak besar di masa yang akan datang. Gambar di atas tulisan ini, menjadi salah satu contoh sederhana yang bisa saya tunjukkan dan tidak bermaksud menyinggung tapi marilah kita sama-sama tersinggung. Bicara perihal adab dan moral sudah semestinya kita luruskan. Bahwa memerhatikan hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil justru adalah kekeliruan dalam berpikir. Mahasiswa yang bermoral tentu mengerti