Skip to main content

Hinaan Romantis Seorang Penulis
Arsa Danialsa
Suatu ketika, pada pertemuan yang tidak disengaja aku duduk semeja dengan seorang pegiat literasi. Dia juga seorang sarjana bahasa Indonesia. Di meja yang tidak begitu besar, tidak banyak yang kami bicarakan. Saat itu aku tidak sendiri. Beberapa kawan ikut menemani. Sebenarnya kami tidak merencanakan sebuah pertemuan khusus, itu juga bukan diskusi rutin. Barangkali orang itu sempat melihat pakaian yang kami kenakan lalu mendekatkan diri dan berkenan untuk duduk semeja.
Setelah saling bertukar identitas, atau lebih tepatnya orang itu cenderung mendominasi pembicaraan. Mungkin sebab dia merasa lebih tua di antara kami. Apalagi saat dia tahu kami adalah sekelompok mahasiswa, mungkin sebagai seorang sarjana tentu merasa sedikit lebih dewasa dari kami.
Pada diskusi yang tidak sebentar itu, ada beberapa hal yang sangat membekas di telingaku dan mungkin juga kawan yang lain.
"Empat tahun saya berkutat perihal literasi. Saya sering memberi materi dan pelatihan menulis untuk mahasiswa" ujarnya dengan penuh percaya diri.
Seolah tak memberi kesempatan kami untuk bicara, orang itu terus saja menceramahi. Katanya sebagai pegiat literasi kampus, kalian jangan hanya berkutat perihal membaca, tapi mulailah untuk menulis. Begitu kira-kira santunan materi yang kami terima.
Semua teori tentang kepenulisan dibeberkan. Mungkin itu sebab dia seorang sarjana bahasa Indonesia sudah sewajarnya ia kuasai perihal menulis. Bukan hanya menulis, bahkan ilmu perihal penyuntingan naskah yang baik dan benar juga dikuasainya. Kawan-kawanku yang lain terperangah seperti orang kelaparan yang baru saja diberi suapan.
Kecuali Dandi. Sesekali Dandi mengerutkan kening pun melirik ke arahku. Aku sedang menerka-nerka mungkin yang dipikirkan Dandi, orang ini tidak tepat sedang menceramahi seorang penulis. Kita berdua sesekali menganggukkan kepala. Biasalah ilmu koprol isyarat.
Sampai pada penghujung teori, mungkin dia mulai lelah berceramah.
"Jadi selain sebagai pegiat literasi, apa kesibukan kalian?" Seketika aku merasa seolah diberi senjata oleh musuh untuk menghantam dirinya sendiri.
"Kebetulan dia seorang penulis" Serobot Dandi.
"Oh ya? Sibuk nulis KTI ya?" Tamparan itu dia tunjukkan ke arahku.
Aku lantas memeriksa ransel yang berada di sampingku. Meraih sebuah buku dari dalam ransel tersebut. Sambil meletakkan buku di atas meja aku mengucap terima kasih atas ilmunya perihal menulis.
"Tapi jika anda berkenan silakan terima buku ini. Khusus saya beri untuk anda. Di cover itu nama saya, saya seorang penulis" tegasku dengan gaya sedikit berwibawa.
Orang itu diam seribu bahasa dan akhirnya berani bicara lagi.
"Saya belum punya satupun buku"
Kesimpulannya, secara teoritis saya belajar dari orang itu perihal dunia kepenulisan pun sebaliknya orang itu belajar dari saya secara praktik perihal bagaimana implementasinya. Pelajaran yang bisa kita ambil, setiap orang memiliki kelebihannya masing-masing. Tapi yang jadi pertanyaannya adalah "apakah kelebihan kita bermanfaat untuk orang lain?" Jika belum segera berbenah diri. Setiap kita diberi kekurangan dan kelebihan untuk saling memberi dan melengkapi. So jangan berhenti belajar walaupun dari orang bodoh sekalipun, pasti ada pelajaran yang bisa kita ambil. Sekecil apapun itu.

Salam Literasi
Arsa Danialsa_

Comments

Popular posts from this blog

Esensi Merunduk Sebuah fakta baru kembali menggetarkan nalar para pemerhati pengetahuan khususnya di bidang literasi. Hal mana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank dalam dokumentasi publikasi Indonesia Economic Quarterly , Juni 2018 menyatakan bahwa 55 persen masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, tidak terkecuali para mahasiswa. Fenomena yang banyak kita temukan di lingkungan universitas bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memiliki kebiasaan copy paste, sehingga kebiasaan plagiarisme tidak dapat dihindarkan. Berkenaan dengan fakta di atas, sebuah kebiasaan unik yang sudah menjadi kultur di lingkungan mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dan mungkin juga di kampus-kampus besar lainnya, yaitu perintah "MERUNDUK" oleh senior kepada mahasiswa baru. Sebuah perintah yang hukumnya fardu ain untuk dilaksanakan. Beberapa senior mengklaim bahwa itu sudah menjadi kebiasaan di masa orientasi mahasiswa, ada juga yang berpendapat bahwa perintah
  Love Language ala NLP Arsa Danialsa Istilah love language pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Yap, sebuah konsep yang dikenalkan oleh Dr. Gary Chapman pada tahun 90an ini, meskipun telah berlalu lebih dari 20 tahun, faktanya konsep ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Belum lagi saat ini istilah love language sedang trend di kalangan anak muda.  Words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, and physical touch.  Lima bahasa cinta yang mulai bertebaran di banyak media sosial pun ruang-ruang obrolan anak muda. Lalu apa menariknya konsep ini? Yuk kita bahas singkat: Pertama , orang yang love language -nya word of affirmation adalah mereka yang senang dengan apresiasi dalam bentuk kata-kata seperti pujian atau bahkan hal receh seperti gombalan. Kedua , mereka dengan  love language quality time , adalah orang-orang yang berorientasi pada kualitas waktu yang dihabiskan bersama. Saat sedang bersama, mereka paling anti dengan distraksi apa pun itu t
S(U)AMPAH MAHASISWA "Mereka tidak punya kesadaran tapi seolah-olah sadar," Samsi Pomalingo. Sebuah tanda ketidakharmonisan antara kata-kata dan perilaku. Di lain situasi mereka yang sering tampil di permukaan podium atau bahkan bermain kata di atas media, mengaku sebagai orang yang beradab dan bermoral, tetapi fenomena menjawab terbalik, sebuah kekeliruan berpikir kerap kali menjadi kelalaian orang-orang yang berkepala dingin. Bagaimana tidak, mahasiswa yang begitu identik dengan gelar agent of change seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil yang memiliki dampak besar di masa yang akan datang. Gambar di atas tulisan ini, menjadi salah satu contoh sederhana yang bisa saya tunjukkan dan tidak bermaksud menyinggung tapi marilah kita sama-sama tersinggung. Bicara perihal adab dan moral sudah semestinya kita luruskan. Bahwa memerhatikan hal-hal yang besar dan mengabaikan hal-hal yang kecil justru adalah kekeliruan dalam berpikir. Mahasiswa yang bermoral tentu mengerti